Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar Lembaga Setjen MPR, Budi Muliawan SH., MH., mengatakan mahasiswa adalah intelektual muda yang idealis dan sangat kuat memegang teguh nilai nilai yang dipercayai sebagai nilai kebenaran. Hal demikian berbeda dengan pelajar pada umumnya yang datang ke sekolah dan sebatas untuk menimba ilmu. “Mahasiswa kerap terpanggil hati nuraninya untuk peduli pada masalah masalah yang ada,” ujarnya. Ungkapan demikian disampaikan saat dirinya menjadi narasumber dalam diskusi dengan tema ‘Peran Mahasiswa sebagai Tonggak Pemersatu dalam Kebhinnekaan’, Sarasehan Kehumasan, ‘MPR Menyapa Sahabat Kebangsaan’, di Aula Madya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten, 29 November 2021. Lebih lanjut dalam acara yang dihadiri oleh Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah, Cecep Castrawijaya, MA; Ketua Senat Mahasiswa FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah, Syafira Febby; serta puluhan mahasiswa, itu Budi Muliawan menuturkan peran yang demikian membuat posisi mahasiswa masuk dalam level atau tataran kaum intelektual di tengah masyarakat. Posisi yang demikian membuat Budi Muliawan menyebut mahasiswa memiliki peran dan fungsi sosial yang mampu mewarnai dan memberi dampak bagi kemajuan peradaban dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Alumni Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia ini dengan mengutip pendapat Leila Mona yang termuat dalam jurnal Mengembangkan ‘Personal Social Responsibility (PSR)’ dalam Membangun Karakter Mahasiswa, menyebut ada lima peran penting mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelima peran itu, ‘pertama’, ‘mahasiwa sebagai iron stock’. Sebagai iron stock maka mahasiswa dituntut memiliki kepribadian yang baik dan menjadi manusia yang tangguh dengan akhlak mulia, untuk menggantikan generasi sebelumnya. Akhlak artinya memiliki kelakuan yang mulia dan mengutamakan orang lain di atas kepentingannya sendiri. ‘Kedua’, ‘mahasiswa sebagai agent of change’. Peran ini diharap mahasiswa bisa mewujudkan dan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara agar menjadi lebih sejahtera. Agent of change pada pernyataan tersebut memiliki makna bahwa pemuda Indonesia harus membawa perubahan ke arah yang lebih positif atau baik. ‘Ketiga’, ‘mahasiswa sebagai guardian of value’. Di sini mahasiswa diajarkan untuk bisa berpikir secara ilmiah dan mencari kebenaran atau fakta. Selain itu, mahasiswa juga berperan sebagai penjaga nilai di masyarakat untuk mengawasi dan menyuarakan pendapat jika ada penerapan nilai yang tidak sesuai. Nilai di masyarakat tersebut di antaranya kejujuran, menjunjung tinggi keadilan, integritas, gotong royong, rasa empati dan nilai lainnya. ‘Keempat’, ‘mahasiswa sebagai moral of force’. Peran di sini membuat mahasiswa dijadikan sebagai acuan dasar untuk berperilaku. Mahasiswa diharapkan bisa mencerminkan nilai karakter yang baik sesuai dengan kemampuan intelektualnya. Nilai karakter ini bisa ditunjukkan lewat moral yang beradab atau perilakunya yang sesuai dengan statusnya sebagai mahasiswa. ‘Kelima’, ‘mahasiswa sebagai social control’. Mahasiswa diharap bisa menjembatani hubungan masyarakat dengan pemerintah lewat penyampaian aspirasi, kemampuan mengkritik kebijakan pemerintah atau hal lainnya. Dalam hal ini, mahasiswa juga berupaya untuk mengontrol kehidupan sosial masyarakat. Ketika melihat adanya ketidakberesan dalam masyarakat, mahasiswa harus mampu menyampaikan kritik atau saran kepada pihak yang berwenang. Lima peran itu menurut Budi Muliawan perlu ditambah dengan mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Nilai nilai yang dihidupkan di kampus itu adalah, ‘pertama’, pendidikan dan pengajaran.‘Kedua’, penelitian dan pengembangan. ‘Ketiga’, pengabdian kepada masyarakat. “Dari nilai nilai di atas, membuat mahasiswa memiliki peran yang sangat strategis dalampembangunan dan kemajuan bangsa,” ujarnya. Peran strategis yang dilakukan mahasiswa menurut Budi Muliawan sudah terbukti dan tercatat dalam perjalanan sejarah bangsa.Catatan sejarah itu disebutkan, adalah peristiwa fenomenal yang menjadi tonggak awal bersatunya seluruh pemuda Indonesia dari berbagai daerah, yakni Sumpah Pemuda Tahun 1928.“Saat itu, kebhinnekaan sangat terasa kental.Tidak ada yang mempermasalahkan perbedaan, semua fokus bersatu demi Indonesia,” ujarnya. Peristiwa bersejarah selanjutnya, adalah kemerdekaan Indonesia yang didorong oleh kaum muda.Salah satunya, melalui peristiwa ‘Rengasdengklok’ yakni peristiwa sejumlah pemuda pejuang mendesak Soekarno dan Hatta agar segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka dibawa ke Rengasdengklok, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan RI, pada 17 Agustus 1945. Perubahan kondisi politik di era tahun 1965 1966 yang menggerakan juga dari kaum muda mahasiswa dan terakhir era reformasi muncul di tahun 1998, penggeraknya juga mahasiswa.Artinya, semua yang tercatat dalam sejarah itu sebagai bukti otentik bahwa peran mahasiswa betul betul sangat penting.“Untuk itulah kami mendorong mahasiswa seluruh Indonesia untuk bangkit mengambil peran itu demi Indonesia maju,” pungkasnya. Cecep Castrawijaya dalam kesempatan yang sama, sebelum memberi pemaparan dalam diskusi, dirinya mengucapkan selamat datang kepada tim dari Setjen MPR. Acara yang digelar di UIN Syarif Hidayatullah dikatakan sangat penting dan strategis, selain tema diskusi bisa membangkitkan kembali peran mahasiswa, kegiatan tersebut juga disebut sebagai salah satu upaya untuk membangkitkan kembali nilai nilai kebangsaan, persatuan, dan kesatuan. Diharap kegiatan yang digelar pada hari itu tidak berhenti sampai di sini. “Ke depan kita ingin acara serupa juga digelar di kampus ini,” tuturnya. Cecep yang saat itu juga menjadi pembicara diskusi, dalam pemaparan mengatakan, sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran pemuda, mahasiswa. “Sejak tahun 1908 hingga Gerakan Reformasi 1998, mahasiswa sebagai kaum terpelajar hadir menunjukan perannya,” tuturnya. Dalam era kekinian, Cecep berharap agar mahasiswa tetap menunjukan kiprahnya, berperan menjadi pembaharu agar bangsa dan negara Indonesia bisa berkembang dan maju. “Dengan terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memahami nilai luhur bangsa sehingga muncul generasi pintar dengan nasionalisme yang kuat,” paparnya. Di fakultas di mana dirinya mengabdi, Cecep mengungkapkan terkait nilai nilai kebangsaan, hal demikian selalu diperhatikan dengan baik dan benar. “Di kampus ini ada Delapan Pilar yang harus dipelajari mahasiswa, salah satunya terkait paham kebangsaan,” ungkapnya. Paham kebangsaan atau nasionalisme menurutnya sudah diajarkan sejak awal mahasiswa masuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dikatakan ini sangat penting sebab mereka berasal dari berbagai daerah sehingga perlu diikat dalam satu rasa kebangsaan. “Dalam orientasi merekabisa saling mengenal satu sama lain, belajar, bersosialisasi dan berorganisasi bersama,” tuturnya. Dari sinilah menurutnya membuat mahasiswa saling memahami dari perbedaan yang ada. “Rasa kebersamaan terjalin, sehingga nasionalisme tumbuh karena merasa satu tanah air dan satu bangsa, Indonesia,” ujarnya. “Saya berharap ini akan terus terjaga dan berkembang,” tegasnya.

Leave A Comment

Recommended Posts