Guru Besar Fakultas Pertanian yang juga Direktur Inovasi, Korporasi Akademik, dan Usaha Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Tualar Simarmata mengungkapkan pemicu utama kelangkaan pupuk subsidi. Menurutnya, kelangkaan yang terjadi belakangan ini paling tidak dipicu oleh dua faktor. Pertama adalah faktor rendahnya anggaran pupuk subsidi dari pemerintah dibandingkan dengan kebutuhan yang diusulkan petani. Dia mencontohkan pada tahun 2020 terdapat sekitar 13,9 juta petani yang mengusulkan kebutuhan pupuk dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Pada saat itu, kebutuhan yang diusulkan mencapai 26,2 juta ton.

Namun, alokasi anggaran yang ditetapkan pemerintah hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sebesar 8,9 juta ton. "Menurut pandangan saya, problemnya sekarang di pemerintah bukan hanya soal tata kelola, tetapi juga soal kemampuannya juga. Kebutuhan subsidi pupuk dari petani besar. Tapi kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan persediaannya tidak sampai setengahnya, hanya sekitar 35 persen. Jadi pasti ada kelangkaan," kata Tualar dalam keterangan pers tertulis, Rabu (2/2/2022). "Coba kita hitung, kebutuhan ataupun pengajuan dari petani 100 persen, sementara yang bisa dipenuhi pemerintah hanya 35 persen. Maka, di situ kan jelas tidak sebanding antara demand dan supply, permintaan dan penawaran. Kalau saja pemerintah memenuhi semua demand, pasti tidak akan masalah kelangkaan," jelasnya.

Hal yang sama juga ketika dilihat dari nominal anggaran yang dikucurkan pemerintah yang sangat jomplang, di mana usulan pupuk subsidi dari petani mencapai Rp 69,2 triliun. Sementara nominal yang disetujui oleh pemerintah hanya sebesar Rp 29,7 triliun. "Karena itu, pertanyaannya adalah kalau kita melakukan subsidi itu kan perlu dikaji apakah subsidi pupuknya yang disubsidi atau kita perlu mencari mekanisme lain, sehingga lebih meringankan," jelasnya. Faktor kedua yang menyebabkan kelangkaan pupuk subsidi kata Prof Tualar, adalah masih maraknya mafia pupuk. Mereka mempermainkan dan mengambil keuntungan besar dari subsidi pupuk tersebut untuk keuntungan pribadi.

Mafia pupuk ini muncul karena besarnya perbedaan harga pupuk subsidi (HET: Harga Eceran Tertinggi) dibandingkan harga komersil. Ia mencontohkan HET Urea sebesar Rp.2.250/kg. Sementara harga domestik komersil saat ini Rp. 9.300 sampai dengan Rp 10.000 /kg. Belum lagi jika dibandingkan dengan harga Urea internasional di mana pada saat yang sama berkisar di harga Rp.14.300. "Perbedaan ini tentu mendorong oknum yang tidak bermoral untuk mencari peluang mengambil keuntungan lebih dari kantong petani kecil," jelasnya.

Untuk mengatasi maraknya mafia ini, setidaknya ada dua langkah, yaitu penguatan peran tim pengawas (KP3) untuk minimalisir mafia dan penyimpangan distribusi dan pengunaan pupuk subsidi. Dalam ketentuan, ada KP3 yang bertugas mengawasi. Tapi selama ini terbentur dengan anggaran yang menjadi keluhan tim KP3. Oleh karenanya, Pemerintah harus menganggarkan untuk tim pengawas (KP3). Cara lain untuk menghilangkan mafia ini adalah dengan mengubah mekanisme pemberian subsidi.

Menurut Prof Tualar, pemberian subsidi nantinya tidak menurunkan harga pupuk seperti saat ini, tetapi memberikan semacam voucher kepada petani yang layak menerima. Nantinya voucher tersebut hanya bisa digunakan saat membeli pupuk. "Menurut saya, solusinya adalah diberi Bantuan Langsung Tunai Pupuk atau Bantuan Tunai Petani, nanti tinggal dibikin kartunya dan dirumuskan bagaimana kriterianya, bagaimana mekanismenya. Tapi uangnya jangan langsung dikasih cash, dikasih saja kayak voucher, nanti voucher itu bisa dibelanjakan di mana saja, dan langsung dipotong dari pembeliannya," urainya. "Jadi kalau ada toko toko yang sudah kerjasama dengan pemerintah, dia beli pupuk di situ. Maka, ketika dia menggunakan voucher, otomatis akan langsung terpotong."

Menurut Prof Tualar, metode seperti ini, selain mengurangi potensi penyalahgunaan subsidi, juga sangat ampuh untuk membasmi para mafia pupuk subsidi. "Potensi subsidi disalahgunakan untuk kebutuhan lain kan jadi minim kalau kayak gitu. Tapi mungkin biasanya ada juga yang nggak setuju hal begini, terutama para mafia yang selama ini biasa menyalahgunakan." "Mereka (para mafia pupuk) tidak akan setuju, karena mereka tidak punya lagi cara untuk menyalahgunakan. Kan begitu?" tegasnya.

Tualar juga menilai bahwa Bantuan Tunai Petani akan lebih efektif dan juga lebih hemat bagi pemerintah. "Bantuan Tunai ini kalau dihitung kan nggak seberapa. Misalnya petani kita 20 juta tinggal dikalikan misalnya Rp500.000. Kan cuma 10 triliun, daripada mikir mikir sampai ricuh di mana mana. Itu kan lebih mudah dan juga tidak perlu juga pengawasan pengawasan yang masih ada kebocoran di sana sini." "Kalau ini kan efektif jadi dikasih tidak dalam bentuk pupuk langsung, tapi semacam voucher saja," paparnya.

Namun begitu, kendati menyoroti banyak kekurangan, Prof Tualar juga tetap mengapresiasi sistem administrasi subsidi pupuk yang sudah ada perbaikan dan peningkatan. Paling tidak kata dia, sudah ada Kartu Tani yang memang dirancang khusus untuk melakukan alokasi pupuk subsidi kepada kaum petani. Dalam kesempatan ini Prof Tualar juga mengkritik pemerintah yang dinilainya masih pelit dan masih kurang menghargai para petani. Padahal kesejahteraan petani berbanding lurus dengan kesejahteraan negeri ini. "Pemerintah, kepada petani jangan terlalu hemat lah, kan itu petani kita juga. Indonesia ini akan makmur kalau petaninya makmur," katanya.

Ia juga menegaskan bahwa subsidi yang kini dikucurkan kepada petani masih belum cukup. "Menurut saya walaupun pemerintah berusaha memberikan perhatian terhadap petani, tapi menurut saya itu masih jauh dari cukup." "Makanya perlu dibuat satu mekanisme yang tepat dengan mendata petani, kriterianya, by name, by address, menanam apa, lahannya di mana. Sekarang dengan data digital sudah bisa ketahuan," kata dia.

Leave A Comment

Recommended Posts